Rabu, 07 April 2010

Reformasi Menuju Demokrasi (yang bagaimana?!)

Demo menuju demokrasi atau demokrasi yang selalu di demo (mana yang benar?!)

Demokrasi yang kita jalani sekarang ini adalah demokrasi yang kebablasan (kurangna pengertian dan pemahaman).
Massa dan masyarakat lebih mengerti dan paham bahwasana demo merupakan sarana demokrasi (yang benar?). Demo merupakan kekuatan yang tidak bisa dilawan oleh apapun (ada unsur paksaan). Bahkan secara tidak sengaja para pelaku demo telah melakukan pemaksaan terhadap pihak lain (pihak yang tidak sepaham/setujuan). Akhir-akhir ini atau mungkin sejak reformasi, bangsa kita dihinggapi sindrom demo, yang pada dasarna para pelakuna sering tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Anehna mereka justru dari kalangan intelek (mahasiswa). Mereka selalu menjadi motor penggerak, omong sana omong sini, protes sana protes sini. Seakan mereka bisa lebih baik jika diberi kesempatan/kepercayaan.
Contoh: kita demo masalah korupsi, sekarang kita anti korupsi (karena belum ada kesempatan untuk korupsi).

Mereka merusak image intelek yang mereka sandang (disadari/tidak). Mereka lebih mengutamakan pengerahan massa daripada pengerahan/pengumpulan data (yang secara keilmuan mereka bisa melakukan ini). Tapi nampakna kita sudah memiliki generasi yang berperilaku tidak sesuai dengan porsina. Kaum intelek sudah malas menggunakan daya pikirna. Apabila dengan demo itu tidak ditanggapi manis, maka solusina adalah mengerahkan massa lebih banyak lagi (sambil mengancam). Inikah demokrasi yang kita inginkan?? Demokrasi hasil reformasi. Demokrasi tak kenal kompromi. Demokrasi tanpa toleransi. Lakukanlah protes dengan cara cerdas dan berkualitas:
- Selidiki/lakukan riset terhadap kasus yang terjadi.
- Kumpulkan informasi/data yang valid
- Serahkan pada pihak yang berwajib mengatasi kasus tersebut
- Lengkapi informasi/data yang diperlukan (seperti saksi, dsb)
- Kawal jalanna persidangan
- Pantau sampai kasus menuju vonis
- Dan nasehatilah penguasa dengan cara yang ma’ruf, tidak menyebarkan kelemahanna yang menjatuhkan kehormatanna dihadapan orang banyak.

Bukankah ini lebih berguna daripada hanya sebatas pengerahan massa/orasi/omong sana sini/bakar ban bekas ditengah jalan (mending ban baru), dan masih banyak lagi tingkah laku yang menghancurkan mahasiswa yang notabenena disebut kaum intelek (kalau mampu menggunakan intelektualitas mereka).

Maka nasehatna adalah, lakukanlah segala sesuatuna sesuai porsi kita. Bila tidak, maka yang terjadi adalah penyimpangan. Lebih parah lagi, penyimpangan yang dilakukan oleh banyak individu (apalagi individu yang berpendidikan), maka akan terkesan penyimpangan tersebut menjadi jalan yang benar. Tanpa kita tahu dan sadari jalan yang kita lalui adalah jalan yang menyimpang (pada akhirna terbentuk pengertian/pemahaman yang salah tentang demokrasi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar