Demo menuju demokrasi atau demokrasi yang selalu di demo (mana yang benar?!)
Demokrasi yang kita jalani sekarang ini adalah demokrasi yang kebablasan (kurangna pengertian dan pemahaman).
Massa dan masyarakat lebih mengerti dan paham bahwasana demo merupakan sarana demokrasi (yang benar?). Demo merupakan kekuatan yang tidak bisa dilawan oleh apapun (ada unsur paksaan). Bahkan secara tidak sengaja para pelaku demo telah melakukan pemaksaan terhadap pihak lain (pihak yang tidak sepaham/setujuan). Akhir-akhir ini atau mungkin sejak reformasi, bangsa kita dihinggapi sindrom demo, yang pada dasarna para pelakuna sering tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Anehna mereka justru dari kalangan intelek (mahasiswa). Mereka selalu menjadi motor penggerak, omong sana omong sini, protes sana protes sini. Seakan mereka bisa lebih baik jika diberi kesempatan/kepercayaan.
Contoh: kita demo masalah korupsi, sekarang kita anti korupsi (karena belum ada kesempatan untuk korupsi).
Mereka merusak image intelek yang mereka sandang (disadari/tidak). Mereka lebih mengutamakan pengerahan massa daripada pengerahan/pengumpulan data (yang secara keilmuan mereka bisa melakukan ini). Tapi nampakna kita sudah memiliki generasi yang berperilaku tidak sesuai dengan porsina. Kaum intelek sudah malas menggunakan daya pikirna. Apabila dengan demo itu tidak ditanggapi manis, maka solusina adalah mengerahkan massa lebih banyak lagi (sambil mengancam). Inikah demokrasi yang kita inginkan?? Demokrasi hasil reformasi. Demokrasi tak kenal kompromi. Demokrasi tanpa toleransi. Lakukanlah protes dengan cara cerdas dan berkualitas:
- Selidiki/lakukan riset terhadap kasus yang terjadi.
- Kumpulkan informasi/data yang valid
- Serahkan pada pihak yang berwajib mengatasi kasus tersebut
- Lengkapi informasi/data yang diperlukan (seperti saksi, dsb)
- Kawal jalanna persidangan
- Pantau sampai kasus menuju vonis
- Dan nasehatilah penguasa dengan cara yang ma’ruf, tidak menyebarkan kelemahanna yang menjatuhkan kehormatanna dihadapan orang banyak.
Bukankah ini lebih berguna daripada hanya sebatas pengerahan massa/orasi/omong sana sini/bakar ban bekas ditengah jalan (mending ban baru), dan masih banyak lagi tingkah laku yang menghancurkan mahasiswa yang notabenena disebut kaum intelek (kalau mampu menggunakan intelektualitas mereka).
Maka nasehatna adalah, lakukanlah segala sesuatuna sesuai porsi kita. Bila tidak, maka yang terjadi adalah penyimpangan. Lebih parah lagi, penyimpangan yang dilakukan oleh banyak individu (apalagi individu yang berpendidikan), maka akan terkesan penyimpangan tersebut menjadi jalan yang benar. Tanpa kita tahu dan sadari jalan yang kita lalui adalah jalan yang menyimpang (pada akhirna terbentuk pengertian/pemahaman yang salah tentang demokrasi).
Rabu, 07 April 2010
Lima Simpul Kodrat Manusia
Simpul Kodrat Pertama,
Pada hakekatna manusia lahir membawa kodrat. sehingga kodrat yang disandangna mau tidak mau (sebagian merasa terpaksa) harus dijalankan. bagi yang terpaksa akan terasa berat. selalu mencari alasan untuk menghindari perjalanan hidup, yang bagina terasa panjang dan melelahkan lari dari kenyataan dan tanpa disadari telah mengorbankan nasib yang sebenarna bisa dirubah dengan usaha. Sedangkan bagi yang menyadari akan kodratna sebagai manusia akan menjalani dengan apa adana. Selalu berusaha meskipun sering menemui kegagalan.
Pada simpul yang pertama ini saya sampaikan ‘menjalani kodrat dengan tanpa beban’. Hal ini terjadi pada masa kelahiran manusia, hidup sebagai anak-anak. Anak-anak hadir didunia ini dengan tanpa ia sadari, bahwa ia sedang menjalani kodrat. Ia lakukan segalana dengan ringan (bila ia memang diperlakukan sebagai anak).
Simpul Kodrat Kedua,
Menjalani kodrat selaras dengan adat/budaya social masyarakat.
Masa ini manusia mulai melalui tahap pengenalan, pemahaman, pengertian, dan pembentukan karakter. Setelah anak mencapai umur remaja/pubertas mereka mulai:
- mengenal masalah
- memahami masalah
- mengerti akan permasalahan
Dan akhirna dengan seringna ia mendapatkan masalah akan semakin cepat pula proses pembentukan karakterna. Pembentukan karakter didukung oleh masalah yang berbobot akan menciptakan karakter manusia yang berkualitas. Untuk mencapaina: jalani kehidupan yang diselaraskan dengan budaya masyarakat (budaya yang didasari dengan agama) sehingga mempermudah tercapaina kehidupan yang berdasar pada agama tanpa melupakan adat budaya.
Pada simpul yang kedua ini manusia menjalani masa peralihan yang sangat kompleks. Sehingga memerlukan pendidikan dan pengarahan yang mendukungna untuk melewati masa yang tidak stabil ini. Peran keluarga sangat vital pada saat manusia menjalani proses pembentukan karakter. Kepekaan anggota keluarga sangat dibutuhkan untuk menganalisa problem yang dihadapi si anak. Sehingga konflik anak bisa diatasi (anak dan anggota keluarga menjadi tim yang solid dan kuat).
Simpul Kodrat Ketiga,
Menjalani Kodrat dengan Seimbang.
Masa yang dijalani manusia pada simpul ini sangat berat. Namun, kondisi fisik/kejiwaan dalam keadaan maksimal. Sehingga masa ini adalah umur yang paling ideal untuk pendewasaan. Menjadi manusia yang berpandangan obyektif, tempat mengadu/media bagi keluarga/teman. Semua masalah yang datang dihadapi dengan sikap ksatria, tanpa menghindar atau bahkan lari sekalipun.
Masalah dianggap sebagai materi yang harus dipelajari (dianalisa) dan dicarikan solusina.
Karakter pada masa ini menapak kearah yang stabil. Menuju kepribadian yang mapan (apabila ia mampu menggunakan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki). Apabila saat ini terlewati tanpa respon yang bijak maka hidupna akan sia-sia.seperti butir padi yang ditanam tapi di saat panen tak ada isina (menjalani hidup tanpa tujuan, hampa, dan tidak berkualitas).
Simpul Kodrat Keempat,
Simpul kehidupan yang keempat merupakan tekad untuk mewujudkan kualitas hidup yang mapan dengan dasar religius. Dasar pendidikan, budaya, dan agama merupakan pondasi pada saat ini. Apabila pondasi dibangun dengan kuat maka untuk menapak ke jalan hidup yang religius dan santun akan semakin ringan, seiring dengan pertambahan umur menuju masa senja.
Namun, banyak terjadi pada jaman ini, masing-masing individu lupa akan kebutuhan rohani yang sebenarna sangat vital. Kita lupa terhadapna (atau melupakan/merasa hidup selamana/jauh dari kematian). Sehingga jiwa yang minim dengan pengetahuan agama dan budaya bagaikan kapal yang berlayar tanpa pelabuhan. Punya nahkoda tapi tidak punya arah tujuan. Jiwana hanya terisi dengan kebutuhan duniawi.
Simpul Kodrat Kelima,
Ini merupakan simpul yang terakhir bagi manusia (kita). Detik-detik penantian saat menuju kehidupan yang kekal. Menunggu giliran untuk menghadap Sang Pencipta (bagi yang merasa diciptakan). Seakan waktu terasa sangat mahal (bagi yang menghargaina). Seakan kesempatan takkan pernah datang (bagi yang menyadarina).
Bagi manusia (kita) yang tidak punya bekal persiapan (lihat simpul kodrat keempat) akan merasa dikhianati oleh kehidupan dunia.
Dikhianati oleh raga yang mulai uzur.
Menjadi jiwa yang putus asa.
Dikhianati oleh waktu (yang selalu kita habiskan tanpa kita sadari).
Selalu berandai-andai,
Selalu berangan-angan.
Jikalau seandaina. . .
Aku masih seperti dulu. . .
Pada hakekatna manusia lahir membawa kodrat. sehingga kodrat yang disandangna mau tidak mau (sebagian merasa terpaksa) harus dijalankan. bagi yang terpaksa akan terasa berat. selalu mencari alasan untuk menghindari perjalanan hidup, yang bagina terasa panjang dan melelahkan lari dari kenyataan dan tanpa disadari telah mengorbankan nasib yang sebenarna bisa dirubah dengan usaha. Sedangkan bagi yang menyadari akan kodratna sebagai manusia akan menjalani dengan apa adana. Selalu berusaha meskipun sering menemui kegagalan.
Pada simpul yang pertama ini saya sampaikan ‘menjalani kodrat dengan tanpa beban’. Hal ini terjadi pada masa kelahiran manusia, hidup sebagai anak-anak. Anak-anak hadir didunia ini dengan tanpa ia sadari, bahwa ia sedang menjalani kodrat. Ia lakukan segalana dengan ringan (bila ia memang diperlakukan sebagai anak).
Simpul Kodrat Kedua,
Menjalani kodrat selaras dengan adat/budaya social masyarakat.
Masa ini manusia mulai melalui tahap pengenalan, pemahaman, pengertian, dan pembentukan karakter. Setelah anak mencapai umur remaja/pubertas mereka mulai:
- mengenal masalah
- memahami masalah
- mengerti akan permasalahan
Dan akhirna dengan seringna ia mendapatkan masalah akan semakin cepat pula proses pembentukan karakterna. Pembentukan karakter didukung oleh masalah yang berbobot akan menciptakan karakter manusia yang berkualitas. Untuk mencapaina: jalani kehidupan yang diselaraskan dengan budaya masyarakat (budaya yang didasari dengan agama) sehingga mempermudah tercapaina kehidupan yang berdasar pada agama tanpa melupakan adat budaya.
Pada simpul yang kedua ini manusia menjalani masa peralihan yang sangat kompleks. Sehingga memerlukan pendidikan dan pengarahan yang mendukungna untuk melewati masa yang tidak stabil ini. Peran keluarga sangat vital pada saat manusia menjalani proses pembentukan karakter. Kepekaan anggota keluarga sangat dibutuhkan untuk menganalisa problem yang dihadapi si anak. Sehingga konflik anak bisa diatasi (anak dan anggota keluarga menjadi tim yang solid dan kuat).
Simpul Kodrat Ketiga,
Menjalani Kodrat dengan Seimbang.
Masa yang dijalani manusia pada simpul ini sangat berat. Namun, kondisi fisik/kejiwaan dalam keadaan maksimal. Sehingga masa ini adalah umur yang paling ideal untuk pendewasaan. Menjadi manusia yang berpandangan obyektif, tempat mengadu/media bagi keluarga/teman. Semua masalah yang datang dihadapi dengan sikap ksatria, tanpa menghindar atau bahkan lari sekalipun.
Masalah dianggap sebagai materi yang harus dipelajari (dianalisa) dan dicarikan solusina.
Karakter pada masa ini menapak kearah yang stabil. Menuju kepribadian yang mapan (apabila ia mampu menggunakan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki). Apabila saat ini terlewati tanpa respon yang bijak maka hidupna akan sia-sia.seperti butir padi yang ditanam tapi di saat panen tak ada isina (menjalani hidup tanpa tujuan, hampa, dan tidak berkualitas).
Simpul Kodrat Keempat,
Simpul kehidupan yang keempat merupakan tekad untuk mewujudkan kualitas hidup yang mapan dengan dasar religius. Dasar pendidikan, budaya, dan agama merupakan pondasi pada saat ini. Apabila pondasi dibangun dengan kuat maka untuk menapak ke jalan hidup yang religius dan santun akan semakin ringan, seiring dengan pertambahan umur menuju masa senja.
Namun, banyak terjadi pada jaman ini, masing-masing individu lupa akan kebutuhan rohani yang sebenarna sangat vital. Kita lupa terhadapna (atau melupakan/merasa hidup selamana/jauh dari kematian). Sehingga jiwa yang minim dengan pengetahuan agama dan budaya bagaikan kapal yang berlayar tanpa pelabuhan. Punya nahkoda tapi tidak punya arah tujuan. Jiwana hanya terisi dengan kebutuhan duniawi.
Simpul Kodrat Kelima,
Ini merupakan simpul yang terakhir bagi manusia (kita). Detik-detik penantian saat menuju kehidupan yang kekal. Menunggu giliran untuk menghadap Sang Pencipta (bagi yang merasa diciptakan). Seakan waktu terasa sangat mahal (bagi yang menghargaina). Seakan kesempatan takkan pernah datang (bagi yang menyadarina).
Bagi manusia (kita) yang tidak punya bekal persiapan (lihat simpul kodrat keempat) akan merasa dikhianati oleh kehidupan dunia.
Dikhianati oleh raga yang mulai uzur.
Menjadi jiwa yang putus asa.
Dikhianati oleh waktu (yang selalu kita habiskan tanpa kita sadari).
Selalu berandai-andai,
Selalu berangan-angan.
Jikalau seandaina. . .
Aku masih seperti dulu. . .
Langganan:
Postingan (Atom)